Bait-bait Cahaya

I
CAHAYA: ingatkah kau
malam malam berderak
mendaras aku-sunyimu?

dan, hai…
kau terus menguntai
harap-tunggu itu

—ia telah membusa, sudahlah!

pun dalam hamburan cahaya
aku tak ingin engkau redup
—sebab engkau CAHAYA
(Rabu, 18 Ag 2010, 21:17:26 wita)

II
CAHAYA: bermainlah di bawah bulan
biar bayangmu turut menari
ada keindahan
yang mungkin luput
dari lafadz Rindumu

CAHAYA: bermainlah di bawah bulan
menarilah
sebelum bayangmu
tertikam Sunyi
(Kamis, 19 Ag 2010, 00:38:43 wita)

III
CAHAYA: semburat itu rekah sudah
lihatlah kilau itu
(wahai, betapa teramat lembutnya)
mengiring akustik semesta
yang lebur dalam alun sujud

CAHAYA: saksikanlah
saat mentari mengecup embun
dan kau kan insyafi
betapa embun selalu
menanti saat ini
setiap pagi
(Kamis, 19 Ag 2010, 06:19:41 wita)

Hilang

apa yang kau cari
di gerbong-gerbong peradaban
yang angkuh dan penuh sampah busuk?

apa yang kau harapkan
dari mengaisngais harapan
pada kata indah yang telah sublim
tak sanggup memaknakan dirinya?

apa yang dapat kau budidayakan
di tengah ladang yang menyuburkan kebencian?

Indonesiaku,
kapan aku dapat mencintaimu tanpa airmata?

(Sabtu, 19 Jun 2010 09:30:33 WITA)

Wajah-wajah Dalam Kemarau

matahari tak menerima
hanya memberi kau hanya perlu memilih
terbakar atau
tercerahkan

Bola matahari bersinar garang, bahkan cuaca turut bersekongkol, menerkam tubuh-tubuh yang sibuk mengukur dan mengukir hari, menghitung setiap jengkal nafas harapan dalam segala manifestasinya. Di sebuah titik kehidupan terekam sebuah peristiwa yang sangat mungkin terjadi di ratusan bahkan ribuan tempat dalam satu tarikan nafas waktu.

Seorang lelaki duduk di sebuah bangku reot di pinggir jalan. Sebuah nada riang keluar dari mulutnya yang bersiul, entah lagu apa dan ciptaan siapa. Yang pasti kontras dengan wajahnya yang letih dan berkeringat. Sebelah tangannya mengipas tubuhnya yang terbungkus sepotong kaos lusuh berdebu dengan caping yang biasa dikenakannya. Sebelah tangan yang lain memegang pengait besi bertangkai kayu. Sementara di sisinya sebuah karung tiga per empat kosong teronggok.

Lelaki 1 : (sambil terus mengipasi diri) Mestinya di hari sepanas ini banyak yang  membuang botol plastik di sekitar tempat ini seperti yang sudah-sudah. Jangan-jangan mereka sudah bosan minum air mineral dan lebih suka minum cendol. Atau…jangan-jangan hari ini satu orang miskin bertambah lagi di tempat ini dan malah memutuskan jadi pemulung. Gawat! Padahal aku selalu berdoa agar setiap hari orang kaya bertambah banyak. Tanya kenapa? Sebab semakin banyak orang kaya, semakin banyak juga limbah plastik. Semakin banyak limbah plastik, semakin banyak pula keuntunganku. Ah… (kembali nada riang menghiasi mulutnya tapi kali ini ia bernyanyi). Plastik…plastik di mana kamu…plastik…plastik…(terus bernyanyi hingga tidak sadar seseorang telah duduk di sampingnya. Ia seorang lelaki muda berpakaian necis lengkap dengan dasi kupu-kupu dan sepatu berujung lancip. Di pangkuannya tergolek sebuah tas cukup besar)

Lelaki 2 : Oi, sadar. (tampak jengkel dan letih). Apa-apaan siang bongkang 1) nyanyi plastik…plastik…(sambil mengeluarkan sebuah botol air mineral dari tas, membuka tutup dan meminum isinya)

Lelaki 1 : (pura-pura tidak mendengar dan malah menjadi-jadi. Kini ia menjadikan pahanya sebagai alat musik pukul). Apa…apa…apaan dong…plastik dong…plastik dong..dang ding dong dang ding dong.

Lelaki 2 : Berissikk!!!

Lelaki 1 : (sesungging senyum di bibirnya. Tampak menikmati kejengkelan teman
duduknya)…berisik dong…berisik dong dang ding dong…

Lelaki 2 : Dasar, pemulung gila!

Lelaki 1 : Hehe.. Piss, man. Piss!! (mengacungkan dua jarinya). Hari sudah tidak nyaman, jangan perparah dengan kejengkelan dan kemuramanmu. Cukuplah aroma kaos kakimu menjadi penyempurna hari ini.

Lelaki 2 : (wajahnya tampak tersipu, sedikit gugup dan kesal) Mengapa kau mesti mengurusi kaos kakiku? Urus saja dirimu.

Lelaki 1 : Hehe…Urusan pribadi seseorang ketika memasuki ranah pribadi orang lain sudah tidak lagi murni sebagai urusan pribadi orang tersebut. Artinya…(dengan mimik lucu) ketika urusan aroma kaos kakimu, yang tentu saja adalah urusan pribadimu, nangkring di lubang hidungku, yang tentu saja adalah zona pribadiku, maka dengan sendirinya suka tak suka mau tak mau rela tak rela sudi tak sudi mele ndek mele gemes ndek gemes, aroma kaos kakimu menjadi urusan pribadiku juga. Sehingga pertanyaannya kemudian adalah, “Mengapa aroma kaos kakimu tidak kau hirup sendiri saja? Mengapa aku harus ikut menanggung akibatnya jika itu murni urusan pribadimu?”

Lelaki 2 : (mulai waspada dengan lawan bicaranya). Ucapanmu terdengar aneh untuk diucapkan oleh seorang pemulung.

Lelaki 1 : Bukankah sebuah kalimat suci mengingatkan kita untuk tidak menilai sesuatu dari subjeknya melainkan harus melakukan telaah langsung ke objeknya? Meskipun keluar dari dubur ayam, jika itu telur ambillah!

Lelaki 2 : Luar biasa! Sekarang kau terdengar seperti seorang dai televisi. Kau tinggal merubah penampilanmu, maka sempurnalah semuanya.

Lelaki 1 : Baiklah, bila kau merasa tidak nyaman dengan hal itu..mari..mari…sekarang kita berbicara tentang apa yang kau bawa. Apa yang kau bawa?

Lelaki 2 : (terkekeh). Hahaha…

Lelaki 1 : Sekarang kau tertawa. Sayang, terasa ada motivasi mengejek dalam nadanya.

Lelaki 2 : Maaf. Ayam sorry.. Tapi kau bukan target bidikan pekerjaanku. Tanya kenapa? Hanya karena satu alasan. Kau tidak mungkin akan membeli. Padahal targetku adalah orang-orang yang mungkin akan membeli.

Lelaki 1 : Hahaha….

Lelaki 2 : Kau tertawa lagi. Sayang, kali ini nadanya terdengar sumir

Lelaki 1 : Apa kau tidak sadar? Pura-pura tidak sadar? Atau…tidak ingin menyadarinya?

Lelaki 2 : Dasar kutu busuk! (jengkel) Apa kau tidak bisa berbicara tanpa harus berputar-putar…

Lelaki 1 : Hahaha…(semakin keras tertawa, kali ini tawanya terdengar lepas. Merdeka). Coba kau evaluasi sendiri penampilanmu.

Lelaki 2 : Apa maksudmu? (mengerutkan kening sambil mengamati penampilannya sendiri)

Lelaki 1 : Penampilanmu. Apa kau pikir kemeja, dasi kupu-kupu serta sepatu lancipmu bisa merubah kenyataan bahwa kau pun, ternyata eh ternyata, sebagai penjaja barang-barang tersebut berada pada kelompok orang yang tidak mungkin akan membeli.

Lelaki 2 : (sedikit menggeleng, tapi kali ini sambil tersenyum). Kau benar, kawan. Tapi, bagaimana kau tahu?

Lelaki 1 : Aku banyak bertemu orang dengan seragam sepertimu setiap hari. Mereka hilir mudik di setiap jalan hingga ke setiap gang dan orangnya berganti ganti setiap hari. Belakangan aku tahu bahwa orang yang punya “pekerjaan” tidak akan memilih pekerjaan ini.

Lelaki 2 : (menyambut)…dan aku kira kau pun tidak akan mau menjadi pemulung jika benar kau punya “pekerjaan”..hahaha (lepas)

Lelaki 1 : Hahaha… (mereka berdua tertawa. Saling mentertawakan)

Seseorang mendekat. Mereka tidak menyadarinya hingga orang itu mengucapkan salam beberapa kali. Orang tersebut lalu mengulurkan tangannya.

Lelaki 3 : (sambil menjabat tangan keduanya). Maaf kalau saya mengganggu Saudara-Saudara. (keduanya membuka mulut hendak mengatakan sesuatu namun dibatalkan sebab orang tersebut segera melanjutkan ucapannya). Saya seorang hamba Allah…

Lelaki 1 : (langsung memotong, takut kecolongan lagi). Saya juga!

Lelaki 2 : (mengangguk). H0-0h!

Lelaki 3 : Subahanallah! Sungguh indah hari ini…

Pemulung nyaris tidak dapat menahan tawa. Seles Teplon melongo heran campur bingung menyadari betapa ironis kalimat itu.

Lelaki 2 : Haah??? (tiba-tiba tersadar dan langsung membekap mulut sambil tersipu. Pemulung melengos menyembunyikan ekspresi wajahnya)

Lelaki 3 : (jadi sedikit salah tingkah) Em..maksud saya…eh..tentu saja ini hari yang panas tapi maksud saya… Ya! Betul! Maksud saya, kita mesti bersyukur sebab dalam keadaan seperti ini kita masih diberi kesempatan dan kesanggupan untuk menjemput rahmatNya. (spasi pendek)

Lelaki 1 : Lalu..

Lelaki 3 : Lalu?

Lelaki 2 : Ya! Lalu apa?

Lelaki 1 : (berdehem) Ehem.. Maksudnya, apa yang bisa kami bantu. Anda tentu tidak datang kemari sekedar untuk duduk melepas penat dan menyaksikan kami mentertawakan nasib kami sendiri, bukan?

Lelaki 2 : Ya. Begitu!

Lelaki 3 : O..ya.. Tentu saja tidak. Saya sangat menghargai setiap upaya yang bertujuan untuk mendapatkan rahmat dan karunia Allah. Sebaliknya saya datang kemari untuk menyampaikan berita gembira. (tampak begitu yakin dengan kata-katanya. Bahkan ia dengan sengaja tidak melanjutkan kata-katanya; menunggu reaksi dari kedua orang tersebut. Dan…ternyata ia tidak perlu menunggu lama sebab ujung kalimatnya langsung disambar oleh Seles Teplon)
Lelaki 2 : (tampak sangat antusias) Berita gembira? Coba! Bagaimana?

Lelaki 3 : (sekilas melirik Pemulung namun tak menemukan reaksi yang menonjol, lalu
menumpahkan perhatiannya kepada Seles Teplon). Saudara  mau nasib Saudara berubah?

Lelaki 2 : Tentu! Siapa yang tidak? Tapi, kalau berubah jadi Spiderman saya tidak mau. Hehe… Oya, bagaimana?

Lelaki 1 : (tiba-tiba nyeletuk) Mana mungkin Salesman berubah jadi Spiderman.

Lelaki 3 : Saya tidak bisa menceritakan semuannya sekarang. (merogoh saku celananya; dua buah amplop coklat kini di tangannya. Selanjutnya ia mengambil buku nota, menulis sesuatu). Kami mengundang Saudara-Saudara..(merobek lembaran dan memberikannya kepada keduanya bersama amplop)..untuk mempererat tali silaturrahim sebagaimana firman Allah, “I’tasimuu bihablillaahi jamii’a wala tafarraqu”. Berpegang-teguhlah pada tali Allah secara berjamaah, dan jangan berpecah-belah.

Lelaki 2 : (membuka amplop) Wow, seratus ribu, man!

Lelaki 3 : Ucapkan Alhamdullahi rabbil’alamiin.

Lelaki 2 : Oya! Ya

Lelaki 1 : (nyeletuk lagi, kali ini ada tekanan dalam nada suaranya) Alhamdullahi
rabbil’alamiin!!!

Lelaki 2 : (mengerti maksud Pemulung. Ada rasa bersalah dalam nada suarnya) Eh…maaf. Alhamdullaahi rabbil’alamiin. Mmmah..mmah..(menciumi amplop itu berkali-kali). Alhamdulillah…mmah..mmah…alhamdulillah…mmah…

Lelaki 3 : Oya, datanglah ke alamat itu jam 3 sore ini, sekalian kita sholat Ashar berjamaah di sana. Dan…anggap uang yang tidak seberapa itu sebagai uang transport, kami menyiapkan uang transport untuk Saudara-Saudara kembali nanti.

Wajah Sales Teplon semakin berbinar sementara Pemulung menghela nafas panjang

Lelaki 2 : Tentu,tentu. Pasti! Eh..maksud saya Insya Allah saya pasti datang 

Lelaki 1 : Eng… Maaf, saya tidak bisa menerima ini (mengangsurkan amplop ke pemiliknya semula. Kembali Sales terbengong-bengong sementara lawan bicaranya tampak terkejut namun secara repleks menunjukkan reaksi penolakan)

Lelaki 3 : Tunggu Saudara. Sebentar! Mengapa Anda menolaknya?

Lelaki 2 : (geleng-geleng kepala) Luar biasa. Aku tidak menyangka, ternyata era digital yang individualistik masih menyisakan satu orang tolol sepertimu yang tidak memahami sama sekali nilai selembar uang. Aku tidak tahu pasti apakah ketololan atau kesombongan yang sedang kau pertontonkan.

Lelaki 3 : Apa nilainya terlalu sedikit bagi Saudara?

Lelaki 1 : Bukan. Sama sekali bukan itu. Saya hanya tidak dapat menerimanya.

Lelaki 3 : Ya. Tapi mengapa?

Lelaki 2 : Tell us why?

Lelaki 1 : Saya merasa tidak pantas menerimanya. Saya….

Lelaki 2 : Omong kosong! Dalam seminggu belum tentu kau mampu mengumpulkan uang seratus ribu dari berjongkok memunguti limbah plastik di tengah terik matahari sepanjang hari. Dan sekarang, bahkan tanpa kau perlu berkedip, ketika uang sejumlah itu berada di depan biji matamu, kau malah menolaknya mentah-mentah.

Lelaki 3 : Kalau Saudara tidak menerimanya karena khawatir uang tersebut berasal dari hasil upaya yang tidak halal atau subhat, maka saya yakinkan kepada Saudara bahwa uang ini halal, thayyib.

Lelaki 2 : Thayyib…thayyib. Sudahlah! Lebih baik aku pergi saja. Aku mulai khawatir akan berubah jadi orang tolol kalau terlalu lama bergaul dengan orang tolol. (memandang penuh kemenangan ke arah Pemulung)

Lelaki 1 : Mau ke mana kau?

Lelaki 2 : (dengan nada penuh tekanan) P-U-L-A-N-G. Apa yang kudapat hari ini lebih dari sangat cukup. (mendekati orang yang memberi uang dan menyalaminya). Terima kasih. Kita bertemu jam 3. (kepada pemulung) Selamat menikmati ketololan dan semoga bila suatu hari kita bertemu sakit tololmu sudah sembuh. Bye… Oh, betapa indah hari ini. (pergi sambil mulutnya mengeluarkan suara suara bernada senang. Tiba-tiba ia kembali). Oya ada yang terlupa..(dua orang yang tersisa di sana terlihat heran)…Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. (pergi lagi)

Kini hanya tinggal mereka berdua di tempat itu. 

Lelaki 3 :  Terimalah uang ini Saudara.

Lelaki 1 : Maaf. Sungguh saya tak dapat menerimanya.

Lelaki 3 : (melirik ke arah karung yang hanya berisi seperempat). Saya lihat hasil kerja Saudara hanya sedikit hari ini.

Lelaki 1 : Saudara keliru. Saya bahkan belum selesai bekerja.

Lelaki 3 : Tentu. Maaf. Saya dapat melihatnya. Baiklah, bila demikian bolehkah saya minta tolong, Saudara?

Lelaki 1 : Tentu, semampu saya

Lelaki 3 : Saya hanya minta tolong agar Saudara menjawab pertanyaan saya. Adalah sungguh mengherankan bagi saya bahwa Saudara menolaknya sementara orang lain yang luput mendapatkannya malah mengumpat dengan ucapan paling buruk yang dapat diucapkan oleh manusia. Boleh saya tahu alasan Saudara yang sesungguhnya?

Lelaki 1 : Saya sudah mengatakannya. Saya merasa tidak pantas mendapatkannya. 

Lelaki 3 : (sejenak lelaki itu tercenung, lalu berbicara seolah-olah kepada dirinya). Tapi, kenapa…

Lelaki 1 : Saudara ingin mendengar sebuah cerita?

Lelaki 3 : Sebuah cerita?

Lelaki 1 : Sebuah cerita yang dapat Saudara temukan di sembarang buku, di sembarang tempat. Hanya saja dalam cerita ini saya sendiri yang menjadi tokoh utamanya.

Lelaki 3 : Dengan senang hati.

Lelaki 1 : Saya pernah berada di puncak putaran roda pada suatu masa yang pada saat ini
melupakannya jauh lebih saya sukai daripada terus membiarkannya mendekam dalam ingatan.

Lelaki 3 : Bila terasa berat bagi Saudara untuk menceritakannya, lebih baik disimpan saja.

Lelaki 1 : Bukan. Tidak seperti yang Saudara kira. Sebaliknya, mengingatnya terus-menerus adalah sesuatu yang saya sengaja agar saya tetap terjaga dari hal-hal yang pernah membutakan saya. Yah, meskipun hal tersebut merupakan sebuah pilihan pahit. Saya hanya berharap dengan demikian pengampunan atas dosa-dosa saya dapat tercicil sedikit demi sedikit.

Lelaki 3 : Bila saya tidak salah memahami, Saudara tadi menyatakan bahwa Saudara pernah hidup makmur. Benar?

Lelaki 1 : Tepatnya, hidup dalam kemewahan duniawi. Bahkan, kata-kata yang saya ucapkan bertuah. Saya tidak perlu melakukan apa-apa. Saya hanya perlu mengucapkan sebuah kata dan orang lain akan melakukannya untuk saya. Hehe..(tertawa miris, lebih mirip suara erangan daripada tawa) Bahkan saya jadi bingung memikirkan apa yang belum saya punya

Lelaki 3 : Subhanallah! Lalu peristiwa apa yang membawa Saudara pada keadaan seperti sekarang ini?

Lelaki 1 : (terdiam sambil berusaha sekuat mungkin mengusir galau dihatinya serta mendung yang menuai titik hujan di sudut matanya). Saudara pernah kehilangan orang yang Saudara cintai?

Lelaki 3 : Ya. Pernah (dengan nada menggantung)

Lelaki 1 : Sering?

Lelaki 3 : Beberapa kali. Kenapa?

Lelaki 1 : Saya hanya mengalaminya satu kali…(jeda, terdengar tarikan nafas berat dan hempasan yang kuat. Nada kegelisahan yang mengguruh)…tapi sekaligus.

Lelaki 3 : Allahurabbi…Maksud Saudara…

Lelaki 1 : Benar. Seluruh keluarga saya… (jeda kembali. Pencerita mengumpulkan kekuatan serta ingatan, pendengar menunggu)…jadi abu bersama rumah dan semua isinya.

Lelaki 3 : Kecelakaan?

Lelaki 1 : Resminya begitu (datar)

Lelaki 3 : Maksud Saudara…

Lelaki 1 : (kembali menarik nafas panjang…berat…lalu..) Pfuuuhh…

Lelaki 3 : Mmm…saya kira tidak perlu Saudara lanjutkan

Lelaki 1 : (memejamkan mata, berupaya meredam semua gejolak yang mendidih oleh ingatan yang perih. Perlahan otot-otot di seluruh tubuhnya yang tadi mengeras mulai tampak rileks)…dan sekarang saya berada di sini, di hadapan Saudara

Lelaki 3 : Saudara sangat kuat. Orang lain belum tentu sanggup menghadapi peristiwa seperti itu.

Lelaki 1 : Saudara salah sangka..

Lelaki 3 : (dengan tatapan menyelidik) Salah sangka?

Lelaki 1 : Petualangan saya sejak saat itu adalah petualangan balas dendam.

Lelaki 3 : (terkejut sekali) Masya Allah! Jadi Saudara mencari orang-orang yang Saudara duga menjadi penyebab kejadian yang menimpa keluarga Saudara dan menjadi algojo bagi mereka? Na’udzubillah!

Lelaki 1 : Saudara terlihat sangat terkejut

Lelaki 3 : Bagaimana saya tidak terkejut. Balas dendam selalu punya alur semacam itu

Lelaki 1 : Saudara terlalu sering nonton berita kriminal

Lelaki 3 : Bukan. Itu adalah hal yang instingtif. Purbawi. Sudah dimulai sejak Habil dan Qabil memulainya.

Lelaki 1 : Baiklah! Tapi sekali lagi Saudara keliru. Kalau saja, ya, kalau saja semudah itu jalan ceritanya, barangkali saya akan melakukan hal yang sama pada waktu itu.
Lelaki 3 : Jadi…

Lelaki 1 : Dendam saya seakan tak bertuan

Lelaki 3 : Saya bingung

Lelaki 1 : Satu-satunya hal yang membuat saya ingin tetap hidup pada saat itu adalah keinginan saya balas dendam. Namun, tak seorang pun yang pantas dipersalahkan atas peristiwa tersebut sebab nyatanya satu-satunya tangan yang bertanggung-jawab atas peristiwa tersebut telah pula jadi abu. Hal itu membuat saya benci. Benci dan marah sebab tak tersisa seorang pun sebagai pelampiasan. Benci dan marah pada benci dan marah yang tak terlampiaskan. Benci dan marah pada sesuatu yang menyebabkan benci dan marah saya tak terlampiaskan. Dan satu-satunya yang bertanggung-jawab atas semua itu adalah Tuhan

Lelaki 3 : (terkejut tiada alang kepalang) Haaah….??? Astagfirullah! (sambil mengurut dada) Na’udzuillah min dzalik! (kepada Pemulung) Saudara tidak main-main, kan?

Lelaki 1 : (tersenyum getir, menggeleng pelan namun tegas) Namun, saya bingung bagaimana melaksanakan niat balas dendam saya itu. Saya sekaligus tersadar saat itu bahwa satu-satunya yang tidak saya miliki ketika saya memiliki semuanya adalah Tuhan.

Lelaki 3 : (tampak sedikit lega) Berarti Saudara mengurungkan niat Saudara

Lelaki 1 : Sudah bulat tekad saya untuk balas dendam, dan itu tak bisa ditawar-tawar

Lelaki 3 : Tapi…

Lelaki 1 : (tampak tak peduli) Saya tidak mungkin balas dendam tanpa mengenal target saya. Maka, saya masuki pintu-pintu rumah peribadatan. Saya masuki tempat-tempat di mana orang biasa berbicara dan berdiskusi tentang Tuhan…

Lelaki 3 : (langsung menyela) …dan Saudara balas dendam di sana, menghancurkan tempat-tempat tersebut serta melakukan tindakan penganiayaan terhadap orang-orang di dalamnya? (tampak menggemuruh)

Lelaki 1 : Saya mencari tahu…

Lelaki 3 : Mencari tahu?

Lelaki 1 : Saya sama sekali tidak berniat balas dendam kepada sesuatu yang tidak punya kaitan langsung dengan peristiwa yang menimpa saya. Saya masuki pintu-pintu tersebut untuk mencari tahu tentang target saya. Mencari tahu tentang Tuhan.

Lelaki 3 : (menghempaskan nafas hingga tandas). Saudara mendapatkan apa yang Saudara cari?

Lelaki 1 : (tertawa. Ada nada mengejek di sana). Tidak sama sekali. Reaksi yang saya terima hampir serupa, namun dalam manifestasi yang beragam. Hanya kemarahan yang saya dapatkan dari balik pintu-pintu tersebut. Ada yang menyatakannya dengan caci-maki, ada yang mengancam bahkan ada yang mengejar-ngejar saya sambil mengacungkan senjata hendak membunuh saya.

Lelaki 3 : Tapi mengapa mereka melakukan itu terhadap orang yang hendak mencari tahu tentang Tuhan?

Lelaki 1 : Di balik setiap pintu tersebut saya menyatakan keinginan saya mengenal Tuhan demi balas dendam saya kepada-Nya

Lelaki 3 : Pantas! Lalu apa yang Saudara lakukan selanjutnya?

Lelaki 1 : Saya masuki pintu-yang lain hingga tak tersisa satu pun. Dalam limbung, letih dan nyaris putus asa, saya sampaikan keinginan saya pada semua orang yang saya temui. Hingga jadilah saya orang gila dalam pandangan orang-orang. Namun, saya tidak gila dan tidak membiarkan diri gila sebab kesadaran adalah satu-satunya modal saya untuk balas dendam

Lelaki 3 : …dan Saudara tentu tidak akan menemukan orang yang mau membantu Saudara melakukan hal semacam itu

Lelaki 1 : Justru di ujung sisa harapan, saya temukan orang yang bersedia membantu misi balas dendam saya pada Tuhan

Lelaki 3 : (tersenyum pahit) Tentu orang tersebut sama gilanya dengan Saudara. Eh…Maaf…(agak menyesal telah mengatakannya)

Lelaki 1 : (tersenyum maklum) Tidak apa-apa. Justru hanya orang yang bersedia dianggap gila yang dapat menolong saya.

Lelaki 3 : Bagaimana Saudara membujuknya untuk menolong Saudara?

Lelaki 1 : Saya tidak perlu membujuknya sebab dengan segera ia menyambut tangan saya.

Lelaki 3 : Lalu, bagaimana Saudara diajari cara melaksanakan niat Saudara?

Lelaki 1 : (tersenyum, wajahnya terlihat teduh) Orang itu, semoga Allah melimpahkan rahmat selalu kepadanya, mengajarkan; karena musuh saya berbeda dalam segala sifat-Nya dengan manusia, maka mustahil saya dapat mendekati-Nya dengan cara yang sama dengan cara saya mendekati manusia. Dia mengatakan, “Bila kau ingin balas dendam kepada Tuhan, kau harus meredakan rasa amarahmu kepada-Nya terlebih dahulu”

Lelaki 3 : Subahanallah! Biar saya tebak. Saudara pasti tidak dapat menerima ajaran tersebut.

Lelaki 1 : Benar. Tepat sekali. Tapi, kemudian dia sanggup mematahkan jalan pikiran saya. Katanya, ”Aku tegaskan kepadamu, Tuhan itu B-E-R-B-E-D-A sama sekali dengan manusia. Jika kau balas dendam kepada manusia dengan meluapkan segala amarahmu, maka kepada Tuhan kau harus melakukan hal sebaliknya. Kau tidak akan dapat mengenal musuhmu yang INI dengan rasa amarah, sebab ketika kau belajar mengenalNya dengan penuh kebencian, maka objektifitasmu menjadi kabur. Itu adalah satu-satunya jalan untuk balas dendammu. Lakukan atau tidak sama sekali. Bila kau tidak bersedia, silakan cari orang lain yang dapat membantumu melakukannya.”

Lelaki 1 : (mengangguk). Hari-hari saya selanjutnya adalah upaya mengikis kebencian yang bersarang di dada. Sesuatu yang sebenarnya bertolak belakang dengan akal sehat saya. Namun, kekhawatiran saya atas pupusnya harapan saya untuk melaksanakan misi saya jauh lebih besar.  

Lelaki 3 : Lalu apa yang orang itu lakukan pada Saudara

Lelaki 1 : Beliau mengajarkan nilai-nilai kepada saya, tanpa saya mengetahui dari mana sumber nilai-nilai tersebut. Sebab, tentang agama saya buta sama sekali. Beliau membimbing saya memahami dan melakukan telaah terhadap banyak hal.

Lelaki 3 : Apa kegiatan semacam itu tidak membuat Saudara lupa pada misi yang telah Saudara tetapkan?

Lelaki 1 : Beliau mengingatkan saya setiap hari bahwa saat balas dendam semakin dekat dan karena itu saya harus lebih giat.

Lelaki 3 : Aneh

Lelaki 1 : Benar, dan saya mulai menikmatinya. Pelan tapi pasti saya merasakan perubahan dalam diri saya. Saya mulai merasakan suatu kekosongan yang menuntut untuk segera diisi. Hingga pada suatu malam yang penuh bintang ketika saya memandangi langit yang bersih, beliau mendekati saya. Beliau menantang saya menghitung bintang.

Lelaki 3 : (heran) Menghitung bintang? Mana mungkin!

Lelaki 1 : (mengangkat bahu) Katanya, “Coba kau bagi batas pandanganmu terhadap langit menjadi empat bagian lalu ambil satu bagian saja untuk kau hitung bintangnya”. Saya mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Beliau melanjutkan, “Jika demikian di mana batas kesanggupanmu? 1/8 bagian? 1/16? 1/32? 1/100? Berapa?” Saya tetap mengatakan tidak sanggup

Lelaki 3 : Tentu saja tidak mungkin. Tapi apa maksudnya menyuruh Saudara menghitung bintang?

Lelaki 1 : Beliau sedang menuntun saya untuk memahami keterbatasan manusia. Beliau mengatakan, “Pandang sekelilingmu dan bayangkan dirimu sedang berada di suatu tempat yang hanya bagian yang nyaris tak berarti dari sebuah pulau, sebuah pulau bernama Lombok yang bahkan hanya ditandai dengan sebuah titik dalam peta bumi. Lalu bumi yang hanya planet kecil saja pada sistem tata surya. Sebuah sistem tata surya yang hanya bagian dari sebuah galaksi yang kita sebut Bimasakti yang memiliki jutaan sistem tata surya. Lalu bayangkan alam semesta yang meliputi miliaran galaksi di dalamnya dan semuanya bergerak dalam garis edarnya masing-masing dengan keteraturan yang sempurna. Menurutmu apakah semuanya terhampar dengan sendirinya tanpa ada yang menghamparkannya, atau apakah  semuanya tiba-tiba muncul dari kegelapan?” Subahanallah. Saya melongo. Takjub. Seluruh persendian saya seperti luruh semuanya.

Lelaki 3 : Allahu Akbar! Saya pun takjub. Saya sering memandangi langit namun tak pernah berpikir sejauh itu. Lalu apa jawab Saudara atas pertanyaannya?

Lelaki 1 : Saya bahkan tak sanggup mengucapkan kata-kata. Lalu beliau melanjutkan, “Kau mau tahu siapa yang membuat semuanya ada, menguasai, serta menjaganya? Dialah Allah. Tuhan yang Maha Memiliki segala sesuatu, Tuhan yang Menguasai langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di antara keduanya, yang menghidupkan dan mematikan. Juga, Tuhan yang sangat ingin kau kenal demi balas dendammu ”. (jeda) Mendengar hal tersebut logika saya terasa teraduk-aduk. Bahkan saya tidak tahu apa sebenarnya yang ada dalam pikiran saya saat itu.

Lelaki 3 : Apa itu menyudahi upaya balas dendam Saudara?

Lelaki 1 : Nyatanya tidak secepat itu. Saya membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk mengerti, mencerna, dan akhirnya memahami kehendak Tuhan

Lelaki 3 : Lalu apa hubungan semua kisah yang Saudara ceritakan dengan penolakan Saudara atas pemberian saya?

Lelaki 1 : Saya belajar hidup dengan cara yang berbeda dengan apa yang baru saja saya ceritakan. Belajar menghargai segala sesuatu, belajar memahami batas kompromis antara keinginan dan kebutuhan, belajar mencintai hidup dari sisi yang berbeda, belajar merasa cukup dengan apa yang ada hari ini

Lelaki 3 : Tapi hal itu tidak lantas berarti bahwa Saudara tidak bolah menerima pemberian orang lain, kan?

Lelaki 1 : Tentu. Tentu saja Saudara benar. Namun, seratus ribu terlalu banyak buat saya dan sejak saya menjalani hidup seperti ini saya tidak pernah membiarkan ada uang atau makanan yang tersisa ketika saya berangkat tidur malam hari

Lelaki 3 : Makanan atau uang yang tersisa…

Lelaki 1 : Bukankah Allah juga membuka pintu ibadah untuk permasalahan semacam itu? Sama seperti yang sedang Saudara lakukan hari ini

Lelaki 3 : (tampak heran campur kagum) Bagaimana kalau seandainya keesokan harinya tiba-tiba Saudara sakit dan tidak dapat bekerja sedangkan saat itu tidak ada yang dapat Saudara makan?

Lelaki 1 : Urusan semacam itu saya serahkan saja kepada Allah. 

Lelaki 3 : Subahanallah! (kagum) Apa Saudara tidak pernah berpikir untuk meningkatkan taraf hidup Saudara?

Lelaki 1 : Saya pernah berada di puncak putaran roda; bergelimang materi. Saya pikir itu sudah cukup buat saya. Nah, sekarang tolong terima kembali uang Saudara… (menyodorkan amplop coklat berisi uang seratus ribu)…dan bila Saudara masih punya keperluan dengan orang-orang yang membutuhkan, saya dapat menunjukkan Saudara tempatnya.

Lelaki 3 : (menerima kembali amplop tersebut) Oya..terima kasih. Mari! 

Kedua lelaki tersebut berjalan beriringan meninggalkan tempat itu. Sementara itu, di sebuah titik kehidupan yang lain tak jauh dari tempat itu, terekam sebuah peristiwa lain yang sangat mungkin terjadi di ratusan bahkan ribuan tempat dalam satu tarikan nafas waktu. Seorang  perempuan tua berjalan agak terbungkuk, pandangannya menyapu sekeliling tempat itu. Sesekali punggung tangan kirinya menyeka keringat di leher dan wajah keriputnya. Di lain kali jari-jari tangan kanannya meraba susur tembakau di mulutnya dan menggosok-gosok giginya. 

Perempuan 1 : Panas sekali hari ini. Seharusnya saat ini musim hujan tapi kenapa tak ada hujan. Semakin hari dunia terasa semakin aneh sampai-sampai hal yang aneh menjadi pemandangan yang biasa, lalu hal yang biasa menjadi terasa aneh. Dunia…dunia… Dunia sudah aneh begini tapi aku masih saja hidup. Miskin lagi. Salahku sendiri juga. Siapa suruh aku dulu berdoa supaya diberi umur panjang. Akhirnya begini akibatnya

Saat itu seorang lelaki berpenampilan trendy mendekat. Di punggungnya tersampir sebuah ransel sementara tangan kanannya menggenggam handphone yang menempel di telinga. Perempuan tua memperhatikan dengan tatapan heran

Lelaki 4 : …aduh gimana ya,…mm…tapi Aa’ gak bisa…(jeda)…di kantor sayang,..h0-0h …Aa’ masih di kantor…kebetulan sebentar lagi ada meeting…(jeda

Perempuan tua tampak semakin heran. Lalu tiba-tiba ia mengacungkan jari 

Perempuan 1 : Dengan jogaang…!!! 2)

Lelaki 4 : (melirik sejenak, lalu mengacuhkan)….eh..iya sayang…(jeda) Aa’ juga gak tau…(jeda) eee..jangan ngambek gitu dong say. Tu..kan. Iya, dech…pokoknya ntar kalo Aa’ dateng, Aa’ bawain hadiah…yayang mau hadiah apa? (jeda) Lho, kok boneka! (jeda)…Apa? Boneka ikan hiu? Sekalian aja minta sama lautnya… iih marah…jangan marah dong!!! Pliss!!! (jeda) Iya, dech…pokoknya Aa’ bawain. Swear. Eh..bos sudah dateng tuh…udah dulu, ya? Dah, sayang…Bye… Mmmh…

Perempuan 1 : (uring-uringan) Dasar sinting….jogang. Dunia memang makin aneh. Masih muda, kok, sudah gila. Bicara sendiri sambil nutup telinga sebelah pake bungkus kacamata.

Lelaki itu hampir tak dapat menahan tawa mendengan ocehan nenek itu, namun ia segera menyibukkan diri dengan ransel yang dibawanya. Ia segera mengeluarkan barang-barang yang ada di dalamnya. Sebuah caping butut, kemeja lusuh dengan robekan dan jahitan di beberapa tempat, celana kolor lusuh dan robek, sebuah mangkok, dan sebungkus tape singkong. Perempuan tua terheran-heran. 

Sesaat kemudian segera terjawab apa yang ingin lelaki itu lakukan dengan barang-barang yang telah dikeluarkannya. Ia melepas baju mahalnya, memasukkannya ke dalam ransel lalu mengenakan kemeja butut. Selanjutnya sepatu bagusnya segera tanggal dari kakinya, begitu pula dengan celana jeans yang dikenakan. Perempuan tua menjerit.

Lelaki 4 : (kaget) Dasar nenek peot kegatelan. Kayak gak ada kerjaan lain aja ngintip-ngintip. Emang belum pernah lihat orang buka celana, ya? Atau belum lihat isinya? Mau?

Perempuan 1 : (menggeleng ketakutan). Ya, Allah. Tidak! Kiamat….kiamat! (beranjak pergi, namun kemudian berbalik dan menunjuk lelaki di dekatnya) Ee, orang gila! Pulang sana ke Selagalas.3) Jangan bikin ulah di sini. (merengut dan pergi) Heeh… Polisi, tolooong!!! Ada orang gila lepas!

Terbahak-bahak menyaksikan tingkah perempuan tua sambil mengenakan pakaian lusuh yang masih tersisa. Lalu ia membuka bungkusan tape singkong dan menempelkannya di beberapa bagian tubuhnya. Setelah itu, ia meraup tanah dan mengotori wajah dan tubuhnya lalu duduk bersila sambil meletakkan mangkok yang telah ia isi dengan beberapa keping recehan.

Terdengar beberapa suara mendekat. Dua orang perempuan datang dan langsung duduk tidak jauh dari tempat lelaki itu duduk. Penampilannya nyaris sama dengannya. 

Perempuan 2 : Apa kamu tidak salah dengar? (sambil merapikan duduknya)

Perempuan 3 : Sama sekali tidak. Dia malah cerita berulang-ulang. Katanya, dia malah sudah dapat bagian dua kali. Orang yang ngasi uang itu berkeliling setiap hari ke tempat-tempat kumuh dan membagikan uang dan katanya hari ini dia bakal ke sini.

Perempuan 2 : Ooo… Dia ngasi berapa sih?

Perempuan 3 : Katanya, sih seratus…

Perempuan 2 : Seratus dibagi berapa?

Perempuan 2 : Masing-masing orang seratus.

Perempuan 3 : (terkejut) Haah..!!! Tetu ke? Ah, pasti orang yang cerita itu bercanda.

Perempuan 2 : Ya, sudah kalau tidak percaya. Kalau aku sih percaya soalnya dia ngasi aku lihat uangnya. Seratus dibungkus pake amplop

Perempuan 3 : Waaah….Eh, kalau kamu dapat uang seratus kamu mau beli apa? Perempuan 2 : Kalau aku sih, untuk bayar utang. Aku kan kredit teplon sama panci. Nah, si tukang kredit nagih terus ke rumah. Dia tidak pernah ketemu aku di rumah. Hihii…. Si Ucil selalu ngasi tau aku kalau dia mau datang. Tapi, lama-lama aku tidak tahan menghindar terus. Ya, mudah-mudahan orang kaya itu datang kesini sekarang….Kalau kamu?

Perempuan 3 : (tersenyum) Kalau aku sih mau beli HP…

Perempuan 2 : (agak kaget, sementara satu-satunya lelaki di situ yang diam-diam mengikuti percakapan mereka tampak membekap mulut menyembunyikan senyumannya) Astaga… Memangnya kamu mau kontek-kontekan sama siapa?

Perempuan 3 : (tersenyum malu-malu) Pacarku, si Bonyong kan sudah punya HP. Tau tidak, HP-nya bisa nyanyi lagu Kucing Garong…

Lelaki 4 : (tiba-tiba tertawa terbahak-bahak) Hahahaha….

Perempuan 3 : (tempak tersinggung) Eh, gembel. Kenapa kamu ketawa…

Lelaki 4 : Hahahaha…. Sesama gembel jangan saling menghina. Kamu beli baju saja tidak
sanggup, eeh…malah mau beli HP segala. Hahaha…

Perempuan 3 : Biarin, week… Suka-suka gue dong. Kenapa kamu yang repot?

Perempuan 2 : Sudah. Jangan dilayani. Pengemis jorok saja dilayani. Lihat saja borok di kaki dan tangannya. Hiiii….jijay

Lelaki 4 : Emang kenapa kalau borok… Daripada kamu PMS

Perempuan 3 : PMS? Apa PMS?

Perempuan 2 : Peggy Melati Sukma 

Perempuan 3 : (salah tingkah) Memangnya aku mirip, ya sama Peggy Melati Sukma

Lelaki 4 : Hahaha…Kamu? Mirip Peggy? Hahaha…Mirip jempolnya saja tidak. PMS itu Penyakit Menular Seksual, tau?

Perempuan 3 : (marah) Kurang ajar..!!! (memungut botol plastik hendak melempar

Saat itulah dua orang lelaki mendekat, lalu mengucap salam. Mereka kemudian menjawab 

Lelaki 1 : Eit…Ada apa ini? Kenapa kalian berkelahi?

Perempuan 2 : Ini bang, masak teman saya dibilang kena PMS (menunjuk pengemis gadungan. Lelaki itu membenamkan capingnya lebih dalam khawatir kedoknya terbongkar)

Lelaki 4 : Tidak, bang. Saya cuma bercanda, kok! 

Perempuan 3 : (masih marah) Bercanda dengkulmu. Kalau menghina orang kira-kira, dong!

Lelaki 3 : (coba melerai) Ya, sudah! Sudah! Sesama Saudara tidak boleh bertengkar. Sekarang, berdamai..(mereka tampak enggan)…ayo berdamai. 

Lelaki 4 : Maaf..

Perempuan 3 : (cemberut) Awas kalau kamu ulangi!

Lelaki 1 : Sudah jangan mulai lagi. Ada yang ingin bertemu dengan Saudara-Saudara. (kepada temannya). Saudara, silakan!

Lelaki 3 : (kepada temannya). Jazakallah! (kepada para pengemis). Saudara-Saudara semua, Allah menyatakan bahwa orang yang dikaruniai kelebihan berupa harta diwajibkan untuk memberikan sebagian hartanya kepada orang yang membutuhkan, sebab di dalam harta orang yang berkelebihan terdapat hak orang yang kekurangan. Jadi, kedatangan saya ke tempat ini adalah untuk menyampaikan hak Saudara-Saudara yang dititipkn Allah melalui saya. (tampak senyum di wajah orang-orang itu)

Lelaki 1 : Sekarang Saudara-Saudara berbaris yang rapi. Jangan rebutan, ini bukan cerdas cermat. Antri.  

Mereka antri satu per satu. Tampak wajah mereka berseri-seri. Tampak lelaki yang antri di urutan terakir mulai gelisah. Sebentar-sebentar ia membenamkan capingnya agar sebagian wajahnya tetap tersembunyi. Dia tahu pemulung yang datang bersama dermawan mulai mencurigainya. Maka, ketika tiba gilirannya mendapat bagian ia segera mengambilnya sambil mengendap-endap ke arah ransel yang ia sembunyikan. Hal ini membuat pemulung semakin curiga. Pengemis gadungan segera berusaha kabur begitu ranselnya sudah berada di tangan. Pemulung berusaha menangkapnya namun hanya dapat merampas capingnya.

Lelaki 3 : (heran) Ada apa? Kenapa Saudara berusaha menangkapnya?

Lelaki 1 : Saya sudah curiga sejak pertama melihanya tadi. Tapi, saya agak sulit memastikannya

Lelaki 3 : Maksud Saudara laki-laki pengemis tadi?

Lelaki 1 : Siapa lagi?

Lelaki 3 : Kenapa?

Lelaki 1 : Saya kenal orang itu.

Lelaki 3 : Lalu apa masalahnya dengan itu?

Lelaki 1 : Saya mengenalnya sebagai seorang preman. Pagi mengemis dengan cara seperti yang tadi. Sore nongkrong di perempatan sambil sesekali mengganggu orang yang lewat terutama jika yang lalu lalang adalah seorang perempuan meski tidak mengganggu secara fisik. Lalu malam hari menjadi penjaga tempat hiburan plus.

Lelaki 3 : Setahu saya tidak ada tempat seperti itu di sini. Lelaki 1 : Tidak ada bagi orang kebanyakan sebab tempatnya tersembunyi dan tersamar. Saya
mengenal sisi gelap dan terang daerah sekitar sini.

Lelaki 3 : Yaah… Sulit juga memberantas hal-hal semacam itu, lebih-lebih bila di jajaran aparat sendiri terdapat oknum yang justru menjadi pelindungnya. 

Seorang perempuan tua muncul 

Perempuan 1 : Kamu di sini rupanya

Lelaki 1 : Nenek! Nenek mencari saya ada apa?

Perempuan 1 : Mencari kamu? Jangan ge-er kamu. Buat apa aku cari kamu?

Lelaki 1 : (tersenyum) Terus nenek cari siapa? (langsung tersadar) Oo…Nenek mencari dia? (menunjuk temannya)

Perempuan 1 : (mengangguk) Aku mondar mandir dari tadi, bahkan aku sudah ke sini tadi tapi malah bertemu orang gila. Uuh..Payah. Aku capek. Pasti orang gila itu sudah ditangkap polisi.

Lelaki 1 : Orang gila siapa maksud nenek.

Perempuan 1 : Orang gila, ya…orang gila. Tidak waras. Jogang. Jegol 4)

Lelaki 3 : Ya, sudah. Yang penting nenek sekarang sudah ada di sini. (merogoh saku celana, memasukkan amplop ke dalam genggaman perempuan tua). Nenek kok kenal teman saya ini.

Perempuan 1 : Temanmu? Bocah aneh ini?

Lelaki 1 : Kok aneh?

Perempuan 1 : Aneh, ya..aneh. Jangan banyak tanya, ah, nenek capek. (jeda, lalu melanjutkan seperti teringat sesuatu) Tapi dia baik (menunjuk pemulung) Dia suka kasi nenek makanan.

Lelaki 3 : Nenek mau ikut dengan saya? Nanti di sana nenek boleh makan apa saja yang nenek suka. Nenek juga boleh datang kapan pun nenek suka. Atau kalau nenek mau tinggal juga boleh

Perempuan 1 : (memandangi pemulung seperti minta pertimbangan, leleki itu mengangguk, lalu ia mengangguk pasti) 

Lelaki 3 : Saudara sendiri bagaimana?

Perempuan 1 : Kamu ikut saja!

Lelaki 1 : (kepada perempuan tua) Saya masih kerja, nek. Jadi, tidak bisa ikut dengan nenek. Tuh, ada botol plastik yang minta dipungut. I’m coming!!! (kepada temannya) Titip nenek, ya? 

Lelaki 3 : (mengangguk) Tentu. (menyalami pemulung dengan hangat). Terimakasih untuk hari ini. Saya harap kita akan bisa bertemu lagi

Lelaki 1 : (tersenyum) Saudara tahu kemana mencari saya

Lelaki 3 : Assalamu’alaikum Lelaki 1 : Wa’alaikumussalam 

Tempat itu kini jadi sunyi tapi itu hanya sekejap sebab pemulung itu segera mengisinya dengan lagu antah berantah bernada riang sambil mencari-cari limbah plastik yang mungkin ada di sekitar tempat itu. 

Samar-samar terdengar suara azan Dzuhur…

Terlihat sebuah langkah bergegas…

Lelaki itu…
 

WAH JULUQ 
 06.55 pagi
Jumat 14 Desember 2007  Kamar Puntung-Debu
 

Catatan: 1) bongkang =bolong, 2) dengan jogang ( dengan = orang, jogang = gila), 3) selagalas = nama rumah sakit jiwa di Mataram, 4) Jegol = jogang = gila